DI PERSIMPANGAN ISTIQLAL DAN KATEDRAL
Senja sudah habis tertawa pada jalanan yang basah. Entah semesta yang sedang apa atau kita yang mengapa. Aku melangkah cepat sembari memeluk tubuh dengan lengan sendiri. Hangat di dalam mulai terkikis dengan dingin yang mengecupku satu persatu. Melewati gerbang yang kokoh, sekokoh diriku bagaimanapun berkelok-keloknya untuk menujuMu. Mengerjap-ngerjapkan mata, pelan-pelan menerima terang yang menjadi remang di bawah lampu jalan yang perkasa. Peluh cinta masih kurasa sehabis menikmati cahaya indah di dalam rumahMu dengan debar-debar gegas menggebu meneriakkan takbir demi memenuhi kebutuhan rohaniku yang tak pernah lunas. Tak berapa lama seratus delapan puluh derajat di depanku, gerbang yang tak kalah kokoh itu berderit sedih kamu tinggalkan. Dengan berlari-lari kecil menyeberangi jalan, kamu menghampiriku. Gerimis ramai-ramai ingin memelukmu dan kamu balas menggoda dengan senyuman itu, melumer di udara yang lembab. Jalanan tak begitu ramai, hanya ada beberapa isiny...