Tetap Teman

Pertemuan ini memang kejutan dari Tuhan. Perkenalan, PDKT-an sampai dua belas bulan. Aku tidak tau apa yang sudah berjalan ternyata tidak ada tujuan. Kita tetap teman. Enam bulan terakhir entah karena apa tiba-tiba kita berjauhan. Membuatku menerka-nerka jangan-jangan selama ini hanya aku yang berjuang sendirian. Akhirnya aku putuskan untuk menghilangkanmu dari pikiran, meski mustahil berhasil kulakukan. Mustahil untuk menghilangkan, mungkin lebih kepada melupakan. Melupakan apa yang dulu menjadi harapan sehingga sekarang aku sibuk mengurusi sakitnya ditinggalkan. Semesta mungkin mendukungku, semester tiga dengan jadwal yang berantakan dan tugas yang tak beraturan membuatku lambat laun melupakan semua yang telah kita ciptakan. Tatapan, genggaman, dekapan, belaian, dan semua yang telah kamu berikan. Meski berurai airmata, aku menyadari ini semua adalah realita yang harus kuterima.

Kita tetap teman. Bahkan untuk menyebut 'teman' pun membingungkan. Tidak ada lagi percakapan, hanya senyuman dan sapaan basa-basi yang dilakukan seperti minum obat, tiga kali dalam sehari atau bahkan tidak sama sekali. Hari ini, tepat malam minggu di mana dulu kita gunakan untuk saling menyesap rindu meski hanya dari segenggam telepon, kuterima kabarmu sudah bersama dia. Lebih resmi dari yang kita jalani. Akhirnya kamu temukan wanita yang membuatmu berani berikan status dan kejelasan. Tidak seperti dulu, aku yang terserak-serak mencari sendirian. Aku menyadari telah mengartikan PDKT ini berlebihan padahal nyatanya kamu menganggap kita "kakak-adekkan". Kamu ketuk pintu hati dari segala penjuru arah dengan perhatian, pada akhirnya kamu  tinggalkan.

Aku senang kamu temukan kedewasaan pada wanita yang kau sayangi sekarang, bukan aku yang kekanak-kanakan. Tapi betapapun biasanya aku, meski tak lagi sakit ketika mengingatmu, aku bukanlah Nabi. Jika berbicara perasaan, egoisku masih inginkan kamu, ingin jadi penyebab  senyum dan tawamu. Banyak hal yang sangat disayangkan untuk rela melepaskan. Di setiap sudut, tempat dan waktu, kutemukan hati ini berdecak menyedihkan, "ah, sayang sekali..." tak terhitung berapa kali diri ini dihimpit oleh kenangan di setiap pijakan. Semakin membuat langkah ini berat dengan penyesalan. Aku menyibukkan diri, karena diam menyakitiku dengan kenangan. Tergambar jelas bagai short movie, berputar-putar di kepalaku. Di setiap jalan yang pernah kita lewati, gedung-gedung yang kita datangi, pada berbagai tempat yang kita sentuh dan kita tinggalkan jejak kenangan di sana. Entahlah apa ini bisa disebut dengan move on ketika aku justru menghindari kenangan dan lari dari penyesalan.


Tidak ada lagi getaran-getaran yang membuatku malu-malu ketika menatapmu, perasaan asing yang menyergap ketika melihat senyum dan tawamu, bahkan ketika kamu dan dia mulai intens di depanku. Aku tidak keberatan kamu yang meniggalkan atau aku yang melepaskan, tapi aku inginkan kita tidak menjauh dan tetap teman. 

Komentar