Perkara Bangun Tidur

Pagi yang hampir habis menggelitik tengkukku hingga aku terbangun dan mendapati dirimu di ujung wajahku. Yang semula pipi menjamah dadamu kuganti dengan dagu demi melihat wajahmu utuh. Matamu mengerjap-ngerjap, mengalimatkan dilema pada bidadari dalam mimpi sedang mentari di ujung pagi memanggilmu. Aku memperhatikanmu lamat-lamat, menekuni setiap lengkung bibir dan alismu yang sahih ketika tersenyum pun tertawa. Sesekali kusentuh ujung rambutmu yang berantakan, kau menggeliat mendekapku membuatku kewalahan. Kau mengunci pergerakkanku dan aku terlena memperhatikan pulas pada wajahmu bak bayi lucu tanpa akhir, jenaka tak berdosa. Tak tampak beringas semalam yang membuat dingin berpeluh dan ritme nafas kita yang menyatu. Kau berikan merk-merk duniawi saat gelap menciumi pagi yang perawan di ambang batas.

Aku mendaratkan kecupan bertubi-tubi, seperti rusa yang lari mati-matian dari singa dan dengan mata yang masih terpejam, kau tersadar. Kau sihir aku dengan lengkungan sabit yang kau sematkan pada bibirmu, lalu detik berikutnya tingkahmu dapat kuprediksi. Kau balas menciumiku, melumat bibirku lembut tapi berirama menggebu hingga pagi benar-benar habis. Terik menyadarkan kita, membuatku kembali menjemput ketidakberdayaan pada selimut yang bisu.

Kau mau kemana? Aku melucu.

Seperti baru mengenalku saja. Perlu kujawab?

Di mana?

Bandara.

Kembali diperkosa rutinitas dan waktu. Tak kau tengok lagi ujung keningku. Aku termangu menatap punggungmu yang menghilang di balik pintu itu.

Bandara... istrimu menunggu.

Komentar