Jadi Tak Biasa

Aku melangkah cepat, sebisa mungkin  tak menghabiskan waktuku di tempat ini. Delapan jam sudah membuatku muak dengan segala aktivitas yang selalu bisa kuprediksi setiap hari. Terkurung dalam kursi yang tak lebih besar dari tubuhku, memasang wajah lugu pada dosen yang tampak pengecut. Dosen yang bayangannya pun tak pernah berhasil ku bentuk dalam pikiranku, hanya sebaris nama absurd dengan segala gelar rapuh yang akan pecah ketika nanti menyentuh tanah. Hanya selirnya yang sibuk mengurusi kami seperti pengawal istana dengan tugas yang tak berjeda, memonotoni pikiran kami yang warna-warni. Ah, sudahlah... jangan sampai aku benar-benar muntah.

Langkahku terbagi dengan kedua tangan yang sibuk merapikan isi tas, penat memaksaku tak perlu berbasa-basi lagi di dalam kelas.  Tapi itu semua tidak menganggu konsentrasi gravitasiku untuk menuju seseorang, yang kuharap bisa membuka mataku bahwa ada yang menyenangkan di balik kata bosan. Mungkin itu hanya perkiraanku. Tidak untuk hari ini, atau mungkin seterusnya... terlalu banyak kemungkinan-kemungkinan gila yang kupaksakan pada sel otakku. Aku melambaikan tangan pada pemilik vespa hitam yang biasa menjemputku sepulang kuliah, tidak lupa kusematkan aksesoris pelengkap berupa senyuman segar terbebas dari kutukan tidur setelah diciumi pangeran. Seperti biasa kamu menjemputku, membalas lambaian tangan dan senyumanku, memberikan helm sambil menanyakan kabar kuliahku lalu kita membelah udara, pasrah dibawa kemana saja oleh pangeran berkuda. Tapi mungkin benar perkiraanku, tidak ada lambaian tangan dan kemana pula senyuman itu. Tidak lengkap 'seperti biasa' yang kuterima.

Kota tua ini masih saja seperti pemuda. Meski renta, masih sanggup berjalan pada baik dan kejam di waktu yang bersamaan. Sepekan terakhir, gemerlapnya dirundung duka, mendung menyapa, lampu-lampu jalan meredup tertawa dan pipinya yang merona menunduk lesu tak bercahaya. Aku merapatkan tubuhku dengan menjemput pinggangmu oleh kedua tanganku. Kaku. Tak kutemukan kehangatan itu, sepertinya dinginnya udara telah meracuni dirimu. Ada apa denganmu? Tak ada cakap-cakap mesra yang biasa kita lakukan bahkan sampai kita sampai pada persinggahan. Tepat ketika kita sampai di tempat makan yang (juga) biasa kita kunjungi, rintik-rintik hujan mulai jatuh memeluk kita. Dan kau tetap seru didekap diam. Tingkahmu tak bisa kuprediksi, kita yang biasa mengambil tempat pada meja bundar kini duduk di antara meja persegi empat membuat kita bersekat pada pilihanmu dalam diam.  Kita adalah penyuka susu dan air putih, membuatku tak bisa menerka-nerka pada pilihanmu memesan kopi. Semuanya tampak biasa saja, tapi kau yang membuat 'seperti biasa' menjadi tidak biasa. Kau teguk cepat tandas, membuat bagian terdalam cangkir kopimu menelanjangimu dalam bungkam. Hebat! Kau buatku tidak berselera pada secangkir susu hangat yang segaris lurus pada kedua matamu yang terus menatapku. Detik berikutnya kau membuatku (juga) diam, setelah lamaku berdahaga menunggumu bersuara.

Kita putus.

Ada apa?

Alasan yang tidak bisa kumengerti, baik itu cinta pun logika. Ternyata bosan hanyalah bosan. Tidak ada hal menyenangkan di balik barisan abjadnya.


Dan kita diam sampai bosan.

Komentar