cerpen-cerpenku

Belajar dari Hari…

          Aku tidak ingat hari, tanggal, dan bulan berapa saat itu. Yang hanya ku ingat adalah “hari itu” memberiku sebuah pelajaran betapa penting orang-orang yang mencintai kita. Hari itu juga menunjukkanku sisi lain dari cinta, Seperti ‘cinta tak harus memiliki’ dan ‘cinta abadi’.
            Sudah menjadi kebiasaanku sepulang kuliah bermain-main di kantor mama. Maklum-lah, aku hanya tinggal berdua dengannya sejak aku masih berusia tiga tahun. Aku seorang anak yatim. Menurutku mama adalah seorang wanita yang tegas, disiplin dan berjiwa sosial. Beliau adalah seorang psikiater. Dan sekarang aku merasa jiwa sosialnya itu menurun padaku.
            Siang tadi aku merasa sial menyapaku. Bagaimana tidak??? Mobilku menyerempet se-orang pria yang menurutku dialah yang salah. Untung saja dia tidak apa-apa. Kami sempat beradu mulut selama beberapa menit sampai akhirnya aku memutuskan untuk pergi saja. Aku memberinya uang untuk ganti rugi namun dia menolaknya dan aku tidak peduli, aku langsung saja pergi.
            “ Aduh sa, kamu dari mana aja??? Mama telpon gak diangkat-angkat!” kata mama sesampainya aku di kantornya.
            “ Maaf ma, tadi kena macet…” kataku berbohong. Aku tak ingin beliau khawatir.
            “ Yaudah kalo gitu! Mama masuk dulu ya,ada pasien yang menunggu.” kata mama seraya masuk ke ruang kerjanya.
            Aku duduk di ruang tunggu sambil mendengarkan musik. Tak berapa lama, mama ke-luar bersama pasiennya. Astaga! Betapa terkejutnya aku saat melihat siapa pasien mama. Dia adalah pria yang kuserempet tadi. Tapi kupikir dia bukan pasien yang sebenarnya. Karena dia bersama pria lain yang duduk di kursi roda. Pria yang satu itu terlihat pucat, tatapannya ko-song dan kantung matanya kecoklatan.
            “ Eh, ngapain lo ke sini???! Mau nantangin gw lagi!!!!” kataku sambil berteriak.
            “Woy!! Gw gak cari masalah lagi ya sama lo! Biasa aja dong ngomongnya!!!”
            Kami beradu mulut kembali, sampai akhirnya mama melerai kami.
            “Sasa!! Apa-apaan sih kamu??! Dia ini kan pasien mama. Mama jadi gak enak sama mereka!” bisik mama padaku.
            “Tapi ma, dia ini udah bikin sasa kesel…”
            “Kesel kenapa?? Dia kan gak ngapa-ngapain kamu!”
            Mama gak tau sih…pikirku dalam hati.
            “Yaudah! Apapun masalahnya, kamu tetep harus minta maaf sama mereka. Gak baik bentak-bentak orang kayak gitu, sa!” lanjut mama.
            Kalau sudah mama yang berbicara seperti itu aku pun tak bisa melawan. Dengan terpaksa aku meminta maaf pada pria itu.
            “Maaf!” kataku dengan wajah cemberut.
            “Sama-sama. Lain kali gak usah teriak-teriak gitu dong!” kata pria itu sambil berlalu.
            Aku sempat melihat pria yang duduk di kursi roda itu tersenyum padaku tapi masih dengan tatapan kosong. Mama bercerita kepadaku bahwa mereka adalah kakak beradik. Dan pria yang duduk di kursi roda itu adalah kakaknya. Sebelum mereka tinggal berempat dalam sebuah rumah dengan seorang istri dan kiki, anak laki-laki dari kakanya. Adiknya belum me-nikah dan bekerja sebagai pengantar pizza. Adiknya seumuran denganku dan selisih lima ta-hun dari kakaknya. Istri dan anak kakaknya meninggal dalam kecelakaan dan mereka selamat. Oh iya! Mama bilang nama mereka adalah mas Hari dan Didi. Mas hari syok berat atas meninggalnya istri dan anaknya itu sampai akhirnya dia bisa seperti itu dan menjadi pasien mamaku.
Keesokan siangnya, setelah pulang dari acara BakSos di kampus. Aku ke kantor mama. Aku melihat mas Hari dan Didi. Kami berpapasan. Tiba-tiba mas Hari memegang lenganku. Aku dan didi terkejut.
            “Sita…” katanya lirih.
            “Mas Hari kenapa?? Kangen mbak Sita ya??” kata didi lembut.
            Akupun berusaha melepas tangan mas hari dengan lembut dan mendekatinya. Aku sedikit membungkuk di depannya. Dia menatapku lalu menangis. Akupun berdiri dan sedikit menjauh.
            “Kamu mengingatkannya pada Sita, istrinya.” bisik didi sambil membawa mas hari pergi.
****
Malamnya aku terkejut mendapat SMS dari didi. Ternyata mama yang memberi nomor handphone-ku tadi siang. Didi meminta maaf dan memohon agar aku datang ke rumah-nya besok siang. Tadinya aku sedikit ragu sampai akhirnya mama membujukku agar aku mau. Mungkin saja aku bisa membantu dalam penyembuhan mas Hari.

****
Siang ini aku sudah berada di ruang tamu rumah mas hari. Rumah mereka tidak terlalu besar tetapi nyaman untuk di tempati. Mereka masih mengontrak di situ.
            “Saya didi dan ini kakak saya, mas Hari.”
            “Sasa…” kataku sambil menjabat tangan didi.
             Didi bercerita tentang dia dan kakaknya. Aku tetap mendengarkan walaupun aku sudah banyak tahu tentang mereka dari cerita mama. Mas Hari hanya diam. Sesekali aku dan didi tertawa. Aku merasa malu karena pernah marah-marah kepada didi. Ternyata didi seorang yang ramah dan menyenangkan. Lama-kelamaan kami menjadi teman. Jika tidak ada kesibuk-an, Aku sering mengunjungi mereka. Didi sering menemaniku jalan-jalan dan memberiku cerita-cerita lucu. Dia juga memberiku kritik dan saran dan sering membantuku mengerjakan tugas-tugas kuliah. Aku baru tahu ternyata didi anak yang cerdas. Aku juga akrab dengan mas hari. Ya…walaupun tidak bisa dibilang akrab bagi orang-orang normal lainnya. Aku sering menyuapinya makan dan mengajaknya jalan-jalan. Mas hari sudah banyak kemajuan. Muka pucat itu berganti dengan senyuman dan tawa, tidak ada lagi tatapan kosong. Mas hari masih memanggilku ‘Sita’, walaupun aku sudah bilang berkali-kali bahwa aku adalah sasa. Aku sedikit bingung karena mas hari masih sering menangis secara tiba-tiba.
            Mungkin karena hampir setiap hari kuhabiskan dengan mas hari. Aku jadi menyukai-nya. Suatu hari aku dan mas hari berada di halaman belakang rumah mereka,
            “Mas hari aku sayang sama mas hari.” kataku sambil menyuapinya.
Lalu tiba-tiba mas hari menangis. Aku tidak terkejut lagi karena itu sering terjadi pada dirinya. Tapi aku bingung, aku melihat didi berdiri di balik pohon sambil menatapaku tajam. Lalu dia pergi begitu saja. Aku pikir dia sedang mencari sesuatu. Anehnya sejak saat itu, didi seperti menghindariku. Dia menjadi cuek dan ketus padaku.

****
Hari ini mobilku sedang di bengkel, jadi aku berniat untuk naik bis sepulang kuliah nanti. Saat aku sedang menunggu bis di halte, aku melihat didi yang sepertinya ingin berangkat kerja. Aku pun memanggilnya.
            “Didi!!!”
            “Ada apa?” katanya tanpa menatapku.
            “Anterin aku pulang dong!”
Didi mengangguk. Aku pun masuk ke mobilnya. Mobilnya tidak terlau bagus dengan merk-merk terkenal lainnya tapi itu sudah cukup untuk melindungi tubuh dari panas dan hujan. Selama dalam perjalanan, kami hanya membisu. Sesekali dia hanya menjawab ‘ya’ atau ‘tidak’ dari pertanyaanku. Sesudah itu suasana kembali hening. Aku sudah tidak tahan dengan sikap didi. Aku memutuskan untuk menyelesaikan masalah ini besok siang. Tentunya sebelum didi berangkat kerja…

****
Ketika aku sampai di rumah mereka. Aku melihat didi dan mas hari sedang duduk di teras. Saat melihat kedatanganku. Didi cepat-cepat mengambil kunci mobil dan berniat untuk pergi. Aku cepat-cepat menarik lengannya.
            “Di, aku mau minta maaf kalau selama ini aku ada salah sama kamu.”
            “Kamu gak punya salah apa-apa kok!” kata didi sambil menunduk.
            “Aku gak bisa tahan sama sikap kamu kayak gini. Kamu menghindari aku kan?? Aku tau kamu pasti lagi marah sama aku” kataku sambil menahan airmata.
            “Aku lagi sibuk dan kamu juga mungkin sibuk. Mungkin kesibukan kita inilah yang membuat kita jarang ketemu,” kata didi tanpa menatapku.
            “Gak!!! Kamu bohong! Aku tau siapa kamu, Di! Walaupun baru sebulanan aku kenal kamu tapi kamu gak kayak didi yang aku kenal dulu!”
            Didi tersenyum sinis dan aku terkejut karena tiba-tiba didi membentakku.
            “Lo baru kenal gw sebentar!! Lo belum tau siapa gw! Selama ini gw cuma manfaatin lo buat nyembuhin kakak gw! Sekarang kakak gw udah banyak kemajuan, jadi gw pikir gw udah gak butuh lo lagi!!!”
Akhirnya airmata yang sudah kutahan sejak tadi tumpah juga. Aku merasakan butir-butir air mulai membasahi pipiku. Dadaku sesak dan sangat marah. Aku pun pergi meninggalkan rumah itu.
****
“Sa…kamu belum tidur, nak??” kata mama sambil mengetuk pintu kamarku.
            “Belum ma. Masuk aja.”
            Aku sedang berbaring dan mama duduk di sampingku sambil membelai rambutku.
            “Sa, mama udah tau masalahmu dengan hari dan didi. Mama minta maaf karena udah membuatmu terlibat dalam hal ini.”
            “Gak pa-pa kok ma. Ini bukan salah mama.”
            “Sa, tadi didi menelpon mama, dia bilang hari masuk rumah sakit. Dia jatuh pingsan tadi siang setelah melihat pertengkaran kalian…”
            Aku terkejut dan langsung bangkit dari posisi tidurku.
            “Didi meminta kamu untuk segera datang ke rumah sakit. Hari selalu memanggil-manggil nama Sita. Mungkin saja kamu bisa membantu.” lanjut mama.
            “Aku gak dibutuhin lagi sama mereka ma…”
          “ Sayang… Mama tau ini sulit buat kamu, tapi mama yakin, jiwa sosialmu lebih tinggi daripada mama.”
            Aku memikirkan kata-kata mama sejenak dan akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke rumah sakit. Tak berapa lama aku sudah sampai di rumah sakit, tepatnya di ruangan mas hari. Didi berdiri di hadapanku dan mas Hari terkulai lemah di antara kami.  Walaupun mata-nya terpejam, tetapi dia terus saja menyebut nama Sita. Aku terus menatapnya dan didi… Aku tau dia memperhatikanku. Tiba-tiba mata mas Hari terbuka.
            “Sasa bukan Sita…” katanya sambil menunjuk ke arahku. Aku dan didi terkejut. Untuk pertama kalinya aku mendengar mas Hari menyebut namaku. Tiba-tiba mas hari menarik tanganku dan meletakkannya di bawah tangan Didi.
            “Didi jaga sasa, sasa buat didi…”
            Itulah kata-kata terakhir mas Hari sebelum dia beristirahat untuk selamanya.

****
Setelah selesai pemakaman mas hari. Aku pulang bersama didi. Selama perjalanan, kami hanya membisu. Tiba-tiba didi berhenti di sebuah jalan tempat aku menyerempetnya waktu itu. Didi mengajakku turun. Kami duduk di trotoar. Untuk beberapa saat kami hanya saling diam. Sampai akhirnya didi berbicara memecah kesunyian.
            “Sa… Kamu tau kesalahan terbesar dalam hidupku??”
            “Apa??” tanyaku lirih.
            “Aku belum bisa membuat mas hari benar-benar sembuh dan membahagiakannya… Lalu kamu tau kesalahan terbaikku??” tanya didi lagi.
            Aku hanya diam.
            “Aku tau kamu pasti ingat jalan ini. Aku senang bisa diserempet sama kamu sampai akhirnya kita bisa bersama seperti ini.”
            “Sa, maafin aku kalau akhir-akhir ini aku udah menghindari kamu. Sebenarnya aku melakukan itu semua untuk mengubur dalam-dalam perasaanku. Aku sayang sama kamu, sa…” lanjutnya.
            Aku sedikit terkejut.
            “Tapi aku tau kamu lebih sayang kakakku. Aku tau kakakku pantas mendapatkan wanita sebaik kamu, sangat pantas! Maafin aku kalau waktu itu aku udah bentak-bentak kamu… Aku sayang sama kamu, sa…”
            “Aku juga minta maaf sama kamu. Tapi soal perasaan kamu ke aku… mungkin aku belum bisa untuk saat ini. Kita mulai lagi aja semuanya dari lembaran baru…”
            “Buku kaleeee!” kata didi sambil berlari.
            “Didiiiii!!!!!”

****


Bintang itu aku…

            “siapa lo???”
            “gw anak baru di sini..”
            “emang lo gak takut??ini kan kosan cowok??!”
            “buat apa gw takut??!”
            Bruk!! Cita langsung menutup pintu. Cowok yang berada di kamar sebelahnya hanya bisa bengong melihatnya. Selama beberapa tahun ini Cita akan ngekos di sini untuk kuliah. Dia sudah mencari-cari kos-kosan cewek yang murah, tapi hanya kosan ini yang dia dapat. Ya…apa boleh buat?? Dia harus hemat di sini karena ibunya hanyalah seorang cleaning service di sebuah kan-tor. Walaupun begitu dia tetap ingin menuntut ilmu sampai ke jenjang yang lebih tinggi. Dia ingin sukses dan dapat membahagiakan ibunya.
            Setelah membereskan kamar barunya dan beristirahat, cita memutuskan untuk mandi. Saat cita keluar, ternyata cowok yang berada di sebelah kamarnya juga sedang keluar. Cowok itu hanya menoleh sebentar ke arah Cita lalu dia melamun. Cita mendekatinya.
            “hai! Gw Cita…” kata cita sambil menyodorkan tangannya.
            Cowok itu melengos pergi. Cita mengejarnya.
            “hei!!! Lo gak sopan banget sih!!gw juga gak ngarep banget kok pengen kenalan sama lo!!”
Cowok itu tetap diam. Dia menaiki tangga ke lantai dua. Cita terus mengikutinya. Cita baru tau kalau di lantai dua ini tidak ada apa-apa. Hanya lantai tanpa atap. Dari sini cita bisa me-lihat pemandangan kota itu pada malam hari. Kerlap-kerlip lampu, mobil-mobil dan gedung-gedung. Cita baru menyadari kalau hari sudah beranjak malam. Ia bergegas turun. Saat cita berbalik ke belakang, ia seperti mendengar suara pelan.
            “egas…”
****
Keesokkan paginya saat cita sedang menyapu kamarnya, ia melihat Egas seperti meng-gigil dan menangis. Cita mendekatinya.
            “gas, kamu kenapa?kamu sakit?”
            Egas segera masuk sambil membanting pintu. Cita hanya bisa bingung melihatnya. Siang harinya, saat cita di kampus barunya. Cita melihat Egas sedang di kantin.
            “eh, kan! Lo kenal sama tuh cowok gak?yang pake jaket abu-abu sama sepatu putih??” tanya cita pada Kana, temannya.
            “o. kalo itu sih Egas. Dia gak kuliah disini cuma sering dateng aja kesini. Kerjaannya cuma ngelamun aja. Emang kenapa?lu naksir ya sama dia?”
            “enak aja lo! Gw kan cuma tanya..”
            Kana senyum-senyum melihat Cita yang jadi salting ditanya begitu.
            “ya bagus deh kalo lo gak suka sama dia. Btw, lo kenapa tanya-tanya soal dia?”
            “gw bingung, tadi pagi gw liat dia menggigil sambil nangis gitu. Trus gw tanya baek-baek, dia malah masuk kamarnya. Pake acara banting pintu segala lagi..”
            “Hah??? Jadi dia temen kos lo??? Ya…ampun cit!kok lo ngekos tempat cowok sih??”
            “ Cuma kosan itu yang murah..”
            “gw jadi khawatir ni sama lo. Lo jangan terlalu deket-deket ya sama dia, soalnya…”
            Lalu Kana membisikkan sesuatu pada Cita. Mulut cita menganga lebar. Sepertinya dia sangat terkejut dengan apa yang dikatakan Kana.
****
Malam ini cita duduk di samping Egas di lantai dua. Cita membuatkan egas segelas susu coklat hangat.
            “nih…buat kamu.” Kata cita sambil memberikan gelasnya.
            “gw gak minta dibuatin kok.” Kata Egas tanpa menatap cita.
            “udah ambil aja. Aku gak takut kok sama penyakit kamu. Ntar aku cuci sampe’ bersih deh.”
            Egas menoleh dan menatap cita.
            “aku udah tau kok tentang kamu. Aku gak bakal ngejauhin kamu kayak temen-temen kamu lainnya.” Kata cita.
            Prang!! Egas membanting gelas cita. Cita benar-benar terkejut.
            “lo gak usah sok baek deh sama gw!!!gw udah ngerti kok, ini semua cuma respon perta-ma lo aja. Lama-kelamaan juga lo pasti bakal takut trus ngejauhin gw!!!lo gak usah baek deh di depan gw!!” bentak egas pada cita. Lalu dia pun turun.
            Cita hanya terpaku. Ia merasakan butir-butir air membasahi pipinya. Sementara di kamar-nya, egas menangis. Tiba-tiba handphone-nya berbunyi. Muncul tulisan ‘mama’ di layar. Egas segera mematikan handphone-nya. Diapun kembali larut dalam tangisnya.
****
Tidak terasa hampir setahun cita tinggal disitu. Cita terus berusaha mendekati egas walaupun egas selalu membalas kebaikannya dengan marah dan bentakan. Seperti malam-malam sebelumnya, malam ini cita kembali duduk di samping egas di lantai dua.
            “gas…cerita dong tentang keluarga kamu? Aku kan pengen tau!”
            Egas diam. Tiba-tiba handphone egas berbunyi. Lagi-lagi mama yang menelpon. Egas membiarkannya. Cita merampas handphone egas dan mengangkatnya. Egas hanya diam. Sam-bungan telpon di-loudspeaker. Terdengar suara wanita sedang terisak di seberang sana.
            “gas,ini mama, nak. Gas, kamu baik-baik aja kan?udah lama kamu gak kasih kabar ke kami,nak. Mama dan papa merindukanmu…”
            Egas segera merampas handphone-nya dan memutuskan telpon begitu saja. Dia bergegas turun untuk menyembunyikan airmatanya. Cita bangkit dan memanggilnya.
            “egas!! Diam gak akan menyelesaikan masalah!kamu gak boleh terus-terusan kayak gini. Kamu harus kejar cita-cita kamu. Ternyata masih banyak kan yang care sama kamu?! Papa dan mama kamu, termasuk aku, gas…”
            Egas terpaku. Dia sama sekali tidak menoleh ke belakang.
            “gas, mereka semua itu sayang sama kamu!dan jujur aku juga sayang sama kamu, gas!!” akhirnya perasaan yang selama ini cita pendam, keluar bersama airmatanya. Lalu egas pun pergi tanpa menatap cita sekalipun.
****
Keesokkan paginya, cita bingung melihat sebuah koper yang ada di depan kamar egas. Egas muncul dan cita segera mendekatinya.
            “gas kamu mau kemana??”
            Egas tak menjawab. Dia menarik tangan cita dan membawanya ke atas. Sesampainya di atas, egas memeluk cita.
            “gw juga sayang sama lo, cit..” kata egas. Dia kembali menatap cita.
            “cit, makasih atas kebaikan lo selama ini. Kata-kata lo tadi malem itu semua bener. Gw harus tetep kejer cita-cita gw. Gw gak boleh trus terpuruk kayak gini karena Aids yang trus menggerogoti tubuh gw. Gw harus pergi cit. orang tua gw pasti sangat merindukan gw..”
            Cita hanya menunduk dan terisak.
            “cit, gw janji sama lo kalo gw dan lo udah sama-sama berhasil nanti, kita bakal ketemu lagi di sini. Gw janji, cit…”
            Tangisan cita pecah…egas pun pergi.
****
Setelah berbulan-bulan cita sudah bisa memulihkan kesedihannya. Siang itu, cita sedang berada di kamar. Handphone-nya berbunyi. Cita buru-buru mengangkatnya karena itu adalah no-mor egas.
            “halo”
            “halo. Ini cita kan??”
            Cita terkejut karena seorang wanita yang menyapanya.
            “ini tante, mamanya egas”
            “oh, ada apa tante??”
            “terima kasih banyak ya cit, karena kamu telah mengubah egas. Semenjak dia di sini, dia jadi rajin sholat dan kuliah dia banyak cerita tentang kamu. Dia bilang kamu adalah inspirasinya untuk berubah. Kamu inspirasi dalam hidupnya, cit…”
            “itu semua saya lakuin karena saya sayang sama egas tante…”
            “cit, kamu dengar tante ya..tante harap kamu bisa menerima cobaan ini..” kata beliau mulai menangis. Perasaan cita jadi tidak enak.
            “dua hari yang lalu egas meninggal, cit. bukan karena Aids tapi kecelakaan. Dia berusaha menghindari anak-anak kecil yang sedang bermain di jalan.”
            Cita sangat terkejut. Butir-butir airmata mulai membasahi pipinya.
            “cit, sebelum egas meninggal di rumah sakit, dia sempat bilang ke tante kalo kamu harus jaga diri baik-baik. Jangan suka nangis apalagi menangisi kepergiannya. Kalo kamu kangen dia, kamu liat bintang yang paling terang. Itu adalah egas, cit…”
            Cita menangis sepanjang siang itu. Sampai akhirnya dia percaya suatu hari nanti dia pasti akan bertemu lagi dengan Egas lainnya. Pasti.

****


Gara – Gara FB


“Mau kemana??”
            Itu adalah pertanyaan terakhirku di facebook pada rio sebelum akhirnya dia menghilang bagai ditelan bumi. Sudah tiga minggu aku tidak bertemu dengannya. Setiap kali aku lewat depan rumahnya atau menunggunya di warung “emak” depan sekolahnya dia selalu tidak terlihat. Warung “emak” adalah warung di mana aku dan dia sering bersama. Sudah hampir setahun aku berteman denganya karena cika, sepupuku yang mengenalkannya padaku saat kami bertemu di sebuah mall. Siang ini aku dan Cika kembali mencarinya di mall itu.
            “mbak, pulang aja yuk…pegel nii kaki Cika..” walaupun kelelahan, baby face-nya tetap terlihat manis dan lesung pipi nya yang selalu membuatku iri, begitu menawan.
            “ntar dong cik..sedikit lagi..siapa tau ntar kita ketemu..”
            “yaudah! Kalo gitu cika pulang duluan deh! Gak kuat lagi ni kaki cika.. lagian napa sih nyariin dia trus?? Mbak suka ya sama dia??”
            Ya, tuhan! Apa benar aku selama ini suka sama Rio? Kenapa aku selalu mencarinya?
            “ih, kok malah bengong sih!yaudah deh cika pulang duluan” cika berlalu pergi dengan raut kesal di wajahnya. Aku tersadar dari lamunanku dan segera menyusul cika, mengakhiri pencarianku untuk kesekian kalinya dan lagi-lagi gagal!!
****
            “hai, pa kabar?? Maaf ya lama gak kasih kabar??”
            Hah!! Rio!! Aku begitu terkejut. Rio command di FB-ku siang ini. Aku langsung mengambil posisi duduk dan menatap laptopku lekat-lekat. Apa benar ini Rio??!
            “baik…gpp kok..emg kemana sih?kok ngilang??” jawabku.
            “gak tanya kabar aku ni??! Maaf deh. Soalnya aku ke Thailand. Aku sakit.. btw. Gak capek ni baru pulang sekolah langsung ‘ol’??”
            “hampir lupa.he. gmn kbrnya? skt ap? Udah baikan belum?”
            “alhmdllh, udah baikan.. Cuma sakit biasa kok”
            Huh! Rio kembali offline sebelum aku sempat bertanya sakit apa sih dia?! Aku pun beristirahat sejenak dan tertidur dengan laptop yang masih menyala. Malamnya, rio menelponku dengan nomor yang berbeda. Selama ini dia ganti nomor dan lupa memberitahuku. Huh! Apa aku sebegitu tidak pentingnya sampai lupa diberitahu??!! Ya, tuhan.. aku bingung dengan apa yang aku rasakan sekarang. Aku senang sekali rio telah kembali dan aku juga tidak mau kehilangan dia lagi. Tiba-tiba cika mengetuk pintu kamarku.
            “ada apa cik??” cika menyembulkan kepalanya dari balik pintu. Lagi-lagi lesung pipinya begitu menawan dengan rambut lurus sebahu yang tergerai.
            “gpp kok.. ada yang mau cika omongin ni sebentar..” dia kemudian duduk di pinggir jendela kamarku yang belum tertutup. Angin mengibas-ngibaskan rambutnya dan menyentuh pipinya yang putih bersih. Aku hanya diam menunggu ceritanya.
            “mbak suka ya sama Rio?? Dia udah lama ngilang gitu kenapa sih mbak masih nyari-nyari dia?? Kan masih banyak cowok di luar sana yang mau sama mbak.. aku prihatin ngeliat mbak sissy uring-uringan trus karna Rio.. tadi siang sepulang sekolah aku ke mall itu lagi sama temen-temen trus aku ngeliat Rio jalan sama cewek lain…” tangannya sibuk membolak-balik majalah.
Aku terkejut mendengar ucapannya. Bukannya tadi siang dia ‘ol’ bersamaku?! Mungkin cika melihatnya sebelum dia ‘ol’ denganku, lalu cewek lain yang bersamanya?? Mungkin saja itu adiknya atau sepupunya. Lagi-lagi hatiku tak menerima semua ucapan cika tentang Rio kepadaku. Kenapa aku lebih membelanya daripada percaya pada sepupuku sendiri?!
            “cika Cuma mau bilang itu aja biar mbak sissy gak mikirin dia trus…” cika pun keluar.
****
            Siang ini aku begitu senang. Rio ada di hadapanku saat ini. Di warung ‘emak’ tempat biasa kami bertemu. Kulit rio sedikit hitam sekarang. Hanya itu. Hanya itu yang berubah dari dirinya. Rahangnya yang tegap, hidung mancungnya, alisnya yang tebal dan semuanya. Semuanya tak ada yang berubah. Senyum dan lesung pipinya mengingatkanku pada Cika. Rio mengajakku ke sebuah danau yang belum pernah aku kunjungi. Senang sekali rasanya. Kali ini aku sudah benar-benar yakin kalau ternyata aku menyukai Rio.
            “maaf ya aku udah lama gak kasih kabar. Oh, iya gimana dengan sekolah kamu?? Baik-baik aja kan??” tanya rio dengan raut muka sedikit gugup. Dia bukan seperti rio yang aku kenal.
            “gpp kok. Aku juga gak kangen kok sama kamu he...”rio hanya diam. Dia seperti memikirkan sesuatu. Suasana menjadi kaku. Aku pun menyenggol sikutnya. Dia segera tersadar dan mengucek matanya yang terlihat merah. Hah??!! Rio menangis!! Ada apa?? Rio menarik tanganku dan mengajakku pulang. Akupun pulang dengan tanda tanya besar di kepala.
****
            Siang ini aku kembali bersama rio duduk di taman.
            “sy, kalo misalnya aku pergi lama banget trus gak akan kembali lagi ke sini, gimana??” aku terkejut mendengar pertanyaan rio. Aku merasa ada yang aneh pada rio sepulangnya dari Thailand.
“emang kamu mau pergi kemana?”
            “kamu belum jawab pertanyaan aku??”
            “aku bakal sedih BANGET!! Coz kalo deket kamu aku ngerasa nyaman BANGET!” Kataku sedikit manja di depannya. Aku menjatuhkan kepalaku di pundaknya. Sejenak Rio diam lalu kemudian dia menangis. Aku terkejut.
            “ rio kamu kenapa?”
            “Rio sayang sama kamu.” Katanya datar.
            “aku juga sayang sama kamu.”
            Glek. Aku terkejut mendengar ucapan ku sendiri. Lancar sekali perkataan itu keluar dari mulutku.tapi aku lega karena Rio juga sayang denganku. Rio menundukkan kepalanya dan masih menangis.
            “ rio, sebenarnya ada apa sih? Kenapa kamu nangis gitu? Bukannya aku udah jawab kalo aku juga sayang sama kamu. Apa ada yang salah dengan ucapanku?”
            “ gak ada yang salah dengan kamu, sy. Tapi aku terlalu bahagia karena kamu juga sayang sama kamu.”
            “o. aku kirain kenapa. Yaudah gak usah nangis lagi dong. Gak malu apa nangis di depan cewek?!”
            Seketika itu juga dia tertawa dan mencubit hidungku.
****
            Akhirnya aku dan Rio resmi berpacaran. Senangnya. Semuanya kembali seperti semula. Rio selalu mengantar-jemput ku ke sekolah. Seperti pasangan selayaknya, aku selalu menghabiskan waktu dengan Rio. Sampai-sampai aku jarang bertemu Cika di rumah akhir-akhir ini karena setiap aku pulang ke rumah aku mendapati Cika sudah tidur dan aku pun terlalu lelah seharian bersama Rio.tidak terasa sudah sebulan aku jalan sama Rio. Malam ini aku sedang tidak ada janji dengannya. Aku dan Cika sedang di loteng sekarang. Kami menghabiskan malam minggu ini berdua saja. Bercengkerama layaknya kakak-adik yang sudah lama tidak bertemu. Di rumah ini aku hanya tinggal berdua dengan Cika. Orang tua kami berada di Bandung dan kami mencoba menjadi anak perantauan seperti di tipi-tipi yang pada akhirnya meraih kesuksesan. (amin).
            “mbak, gimana hubungannya sama Rio?”
            “baik-baik aja kok. Kamu tuh yang gimana kabarnya? Masa’ belum pernah ngenalin cowoknya ke mbak sih?! Mbak kan pengen tau juga siapa yang sudah berhasil merebut hati adik sepupu mbak ini.” Kataku sambil mencubit lengannya..
            Malam ini begitu cerah. Langit dipenuhi bintang. Cika berbaring di sebelahku dengan tangan terlipat di bawah kepalanya. Sejenak dia terdiam sambil memandangi bintang. Tatapannya begitu dalam.
            “ gimana dong mbak?! Susah banget mendapatkannya. Dia itu kayak bintang, kayaknya deket tapi pas mau ditangkap rasanya jauh banget.”
            Aku tersenyum mendengar ucapan Cika. Dia jadi puitis gitu gara-gara jatuh cinta.
            “emang siapa sih namanya?” tanyaku
            “ kembaran Rio…”
****

            “ rio, emang kamu punya saudara kembar ya?”
            “ kamu tau dari siapa? Siapa yang bilang kayak gitu?”
            Dia kaget dan terlihat gugup. Apa yang Rio rasakan juga aku rasakan tadi malam. Saat Cika bilang kalau Rio punya saudara kembar. Dan sekarang, di depan gerbang sekolahku bersama Rio yang seperti biasa menjemputku sepulang sekolah aku berusaha mencari tau siapa saudara kembar Rio. Dengan begitu mungkin saja aku dan Rio bisa menjadi ‘mak comblang’ untuk Cika dan saudara kembar Rio. Pasti Cika sangat senang.
            “rio, kamu belum jawab pertanyaan aku?”
            “oh, maaf. Iya sy aku punya saudara kembar, namanya Riko sekarang dia sekolah di Thailand nemenin nenek kami yang sendirian tinggal di sana.”
            “ oh. Pasti mirip banget ya sama kamu. Eh, aku boleh liat fotonya gak?”
            Rio langsung membuka dompetnya dan mengambil sebuah foto. Wow! Aku takjub sekali melihat foto itu. Benar-benar mirip dengan Rio.
            “kalian kembar identik ya?”
            “gak juga. Riko punya tanda lahir di lengan kirinya. Riko lebih pemalu dari aku. Dia gak pernah pacaran karena dia takut buat ungkapin perasaannya ke cewek.”
            Aku tersenyum geli memikirkan kalau aku dan Cika memiliki pacar yang sama wajahnya.
****
Keesokan harinya Sepulang sekolah aku berjalan-jalan bersama teman-temanku di danau tempat biasa aku dan Rio bertemu. Sekedar mencari angin segar di antara kepenatan dan lelahnya menghadapi kewajiban sebagai seorang pelajar yang kadang terasa membosankan. Aku terkesiap melihat Cika dan Rio sedang duduk berdua di pinggir danau. Ketegangan dan kesedihan mewarnai wajah mereka. Aku tidak berniat mengganggu mereka. Biarlah ketika di rumah nanti saja aku tanyakan karena aku sangat penasaran. Sesampainya di rumah, beristirahat sebentar dan mandi. Setelah selesai aku pergi ke kamar Cika untuk menanyakan apa yang aku lihat tadi siang. Setelah berulang kali mengetuk pintu kamarnya aku baru menyadari kalau Cika belum pulang. Aku pun berniat kembali ke kamar untuk beristirahat sejenak. Kebetulan kamar kami berhadapan. Saat aku akan membuka pintu kamarku, aku terkejut mendengar suara bantingan pintu yang sangat keras. Aku menoleh ke belakang dan ternyata Cika sudah pulang. Aku langsung menetuk pintunya yang terkunci namun tak ada jawaban. Aku mendengar suara tangisan Cika. Aku semakin khawatir.
Sekitar jam delapan malam, aku mendengar suara langkah kaki dari luar kamarku. Aku lega akhirnya Cika keluar kamar juga karena sejak sore tadi Cika tidak juga menampakkan dirinya.
“cik, mau kemana?”
            “mandi.”
Jawaban yang datar. Aku memakluminya karena suasana hatinya sedang tidak baik. Biarlah rasa penasaranku ini ku pendam dahulu. Mungkin besok pagi dia sudah mau bercerita. Aku tau sekali sifat Cika. Dia tidak pernah bisa menyembunyikan apapun dariku.

            Hari ini sekolahku diliburkan karena guru-guru mengadakan rapat. Tapi tidak dengan Cika karena kami beda sekolah. Aku sengaja bangun pagi agar bisa sarapan dengan Cika. Siapa tau saja dia mau mencurahkan isi hatinya pagi ini. Suasana di meja makan hening dan kaku.
            “ cik kamu kenapa sih?? Daritadi malem kayaknya kamu bad mood banget.”
            “mbak tanya aja sama diri mbak sendiri! Apa yang udah mbak sissy lakuin sama Cika!!”
            Brak!!!
Dia pergi begitu saja dan membanting pintu. Aku terkejut dan masih tak percaya dengan apa yang Cika lakukan barusan padaku. Akupun tidak mengerti apa salahku. Aku tidak bisa tinggal diam. Ini semua pasti ada hubungannya dengan apa yang aku lihat kemarin siang di taman. Dan orang pertama yang sudah pasti akan ku datangi adalah Rio.
Siang ini lagi-lagi aku berada di danau bersama Rio. Aku tak sabar dan langsung to the point saja padanya.
“ ada apa si??” tanya Rio padaku. Wajahnya terlihat gugup. Sepertinya dia sudah tahu apa ingin kutanyakan padanya.
“ apa yang terjadi sama Cika? Kenapa dia bisa marah sama aku?” kataku datar. Pandanganku tertuju ke depan melihat danau dan tanganku tak hentinya mencabuti rumput. Perasaanku saat ini benar-benar kacau.
“o, jadi kamu liat kemarin?! Maafin aku, sebenarnya aku…”
“udahlah gak usah buang-buang waktu! Sebenarnya apa yang terjadi di antara kalian? Atau jangan-jangan kalian ada main di belakang aku?? Iya kan!!!”
Kali ini emosiku benar-benar meluap. Rio mencoba menenangkanku.
“sabar dulu si, aku bisa jelasin semuanya. Ada satu hal yang perlu kamu tau.”
Akupun mengalah dan mendengarkan penjelasan dari Rio
“sebenarnya aku udah lama pengen ngomong hal ini sama kamu tapi aku tau kamu pasti bakal sedih banget dan aku gak bisa liat kamu nangis…”
“langsung aja. Aku udah siap terima semua resikonya..” kataku lemas. Tiba-tiba Rio mengeluarkan sebuah foto. Rio dan Riko.
lihat foto ini si, apa kamu percaya kalo misalnya aku bilang kalo aku ini adalah Riko??”
Aku menggeleng.
“walaupun aku tunjukin tanda lahir ini ke kamu, apa kamu masih gak percaya?” kata Rio sambil mengangkat sedikit lengan bajunya. Di situlah terlihat sebuah tahi lalat yang besar berwarna hitam. Tanpa kusadari, setitik demi setitik airmataku mulai jatuh.
“ inilah tanda lahir yang pernah aku bilang ke kamu si. Tanda lahir yang dimiliki Riko. Rio udah gak ada si,dia udah meninggal…”
Aku berteriak dan menutup telingaku. Aku udah gak mau mendengar apa-apa lagi. Aku udah gak peduli siapapun yang ada di sampingku saat ini. Rio ataupun Riko, aku gak peduli!!!
“kamu harus sabar si, penyakit paru-paru yang membuatnya harus lebih dulu meninggalkan kita. Aku juga gak mau melakukan semua ini, tapi aku juga gak bisa menolak karena ini semua amanah dari Rio sebelum dia meninggal. Rio gak mau kamu sedih, rio sayang sama kamu, si tapi dia belum sempat bilang itu semua…”
Tangisanku semakin menjadi-jadi. Aku menundukkan kepalaku. Kenapa semuanya harus terjadi. Lemas yang kurasakan saat ini.
“dan Cika…dia marah besar saat mengetahui kalo aku berpura-pura jadi Rio. Kami tau kalo kami memiliki perasaan yang sama dan itu yang membuatnya tidak bisa terima. Kamu harus mengerti aku juga, si. Aku merasa bersalah banget karena aku harus membohongi dua wanita sekaligus. Kamu dan Cika. Tapi di sisi lain aku juga gak mau mengecawakan Rio, kakakku. Aku bingung, si…”
Aku bangkit dan pergi meninggalkan Riko begitu saja. Aku tau dia memanggilku dan aku juga tidak tahan mendengar isak tangisnya. Namun, aku terlalu lelah hari ini terlebih hatiku. Biarkan aku sendiri.

            Sesampainya di rumah, aku langsung membersihkan diri. Untungnya Cika belum pulang. Aku tidak ingin Cika tahu apa yang udah terjadi padaku siang ini. Aku ingin sendiri.
            Huh!
Siang beranjak malam. Ku buka jendela dan aku duduk di sampingnya. Semilir angin membelai tubuhku dan mengibas-ngibaskan rambutku yang kubiarkan tergurai. Aku termenung. Setelah semuanya yang terjadi hari ini, aku ingin segera lepas dari masalah ini. Tapi setiap aku mencoba untuk mencari solusi, kenapa wajah Rio yang justru hadir di pikiranku.
            “ Rio…” aku menatap bintang di langit. Ada satu bintang yang cahayanya paling terang. Aku berkhayal sendiri, menganggap bintang terang itu adalah Rio.
            “ kenapa kamu pergi begitu aja…lenyap dan hilang. Kamu jahat, Rio… kamu gak pernah tau gimana aku yang kamu tinggal begitu aja. Aku cari kamu kemana-mana. Setiap aku mau tidur aku selalu aja merasa ada yang kurang dalam hidupku.tapi tetep aja aku gak bisa lupain kamu dan perasaan aku tetep sama buat kamu…”
 tanpa ku sadari, titik-titik air mulai membelai wajahku. Aku sudah tidak kuat lagi menahan semua rindu yang kupendam. Aku ingin sekali bersandar di bahunya. Meluapkan segala perasaanku.
            “ rio…aku hargai cara kamu untuk membuat aku merasa bahwa kamu itu selalu di samping aku. Kamu rela mengorbankan Riko untuk aku. Tapi Riko tetep Riko dan kamu tetep Rio yang selalu ada di hati aku. Yang baik, care, lucu dan selalu ada di saat aku butuh. Perasaan ini gak bisa pindah ke lain hati sekalipun itu Riko adik kamu…” airmataku terus mengalir tanpa henti. Aku mulai frustasi dan berbicara sendiri berharap Rio mendengarku.
            “ rio makasih atas semua yang udah kamu berikan selama ini. Aku tau ini sedikit terlambat buat kita. Setidaknya aku bahagia karena orang yang aku sayang ternyata juga menyayangiku. Walaupun dia tidak punya lagi kesempatan untuk mengatakannya…”
Airmataku sudah terkuras habis. Aku merasakan mataku sembap. Sejenak aku memejamkan mata dan menghirup udara malam. Menenangkan pikiran. Lagi-lagi aku terbayang wajah Rio. Ia tersenyum. Hangat. Dan aku dapat merasakan wanginya. Hhmmm…
Tik.Tok. Tik. Tok. Tik. Tok.
Tiba-tiba saja aku mendapatkan solusi dari masalah ini. Rio. Ya, mungkin Rio mendengar keluh kesahku. Dia selalu tau kapan aku sangat membutuhkannya.
“ thanks, Rio…” kataku sambil mengedipkan mata pada bintang.

Keesokan harinya, seperti pagi-pagi sebelumnya Riko datang menjemputku. Tapi kali ini suasana sedikit berbeda. Dia terlihat gugup.
“sy…”
“oh. Mau jemput Cika ya??? Ntar ya aku panggilin dulu.”
Aku tau apa yang ingin dia katakan dan aku mencoba untuk mengalihkannya. Aku masuk ke dalam untuk memanggil Cika.
            “ ada apa sih mbak??? Kok buru-buru banget?!” Cika terlihat bingung. Aku menariknya keluar.
            “ ini nih. Riko. Mau jemput kamu sekolah katanya..” Cika terkejut. Begitupun Riko. Mereka berdua gelagapan. Sama-sama salah tingkah rupanya.
            “ tapi sy, aku kesini mau bicara sama kamu. Aku mau…”
            “ udah aku maafin kok. Aku juga minta maaf sama kamu karena mungkin aku udah egois sama kamu. Aku tau niat kamu baik melakukan semua ini. tapi perasaan kamu dan Cika gak bisa dibohongi kan? Aku udah bisa menerima kenyataan kok. Nah, jadi sekarang kalian deketan donk!”
Aku menarik Cika dan Riko agar semakin dekat.mereka gugup dan bingung.
            “ okeee…sekarang…smillleeee….”
            Flash!
            “ ih, mbak sissy ini apa-apaan sih!? Aku gak suka cara mbak!” Cika berniat masuk ke rumah dengan wajah marah. Aku segera menahannya.
            “ Cika, kamu gak usah bohong lagi sama mbak. Riko udah cerita semuanya . Mbak minta maaf ya kalo selama ini mbak udah bikin kamu cemburu. Mbak sadar kita udah banyak kehilangan waktu berharga. Selama ini mbak egois, hanya memikirkan kebahagiaan mbak sendiri dan gak tau kalo ternyata sepupu mbak sendiri, yang udah bertahun-tahun nemenin mbak justru sedang terpuruk dan kacau perasaannya. Dan itu semua gara-gara mbak. Maafin mbak ya, Cik…”
            Cika menatap Riko seakan bertanya bagaimana-ini-Riko. Riko mengangguk dan tersenyum.
            “ aku gak mungkin bisa lama-lama musuhin mbak…” kata Cika tersenyum dan memelukku. Aku sadar Riko sedang memperhatikan kami. Aku pun tidak enak dan segera melepaskan pelukan.
            “ Cika… kasian donk pacarnya dibiarin lama-lama berdiri di sini. Ntar kesemutan loh!”
Mendadak wajah Riko dan Cika merah padam seperti kepiting rebus. Aku menghampiri Riko.
            “ riko!! Kamu boleh bohong sama saya untuk kali ini, tapi kalo kamu bohong sama Cika apalagi bikin dia sakit hati, awas kamu!!!” kataku sambil mengepalkan tangan seolah-olah ingin meninjunya.
            “ will never ‘gain. Trust me!”
Ku menyuruh Cika dan Riko masuk walaupun awalnya mereka sedikit malu-malu.
Rio…I hope u can look us. I’ll always loving u…” kataku sambil meletakkan tangan didada.
*SEKIAN* 



Komentar