Pamit


Maaf, beberapa hari yang lalu sempat meracau yang mungkin membuatmu kaget karena rutinitas dan rindu yang tak sudah-sudah membuat semuanya terjadi secara tiba-tiba. Kamu bisa protes, bisa saja, semua orang punya rutinitas dan masalah tapi tidak perlu sampai mengganggu kenyamanan orang lain seperti yang saya lakukan. Saya bisa saja bertahan lebih lama lagi, bisa saja, atau membiarkan semua hilang tanpa harus izin dan berpamitan. Sayangnya, saya tidak terbiasa mengumpulkan gengsi, sukarela menyiksa diri sendiri, menerkan-nerka kehidupanmu di sana. Saya menyukai kamu. Tidak persis begitu yang saya katakan, lebih tepatnya memberi tahu bahwa kemarin saya menyukai kamu dan sekarang saya ingin berhenti, walaupun mungkin di kemudian hari saya masih tidak bisa melupakan, setidaknya kamu tahu saya menyukaimu, pernah.

Saya hanya ingin kamu tahu, bahkan tanpa bertanya bagaimana perasaanmu. Bagi saya tidak perlu. Saya tidak sedang mencari kepastian apakah yang saya utarakan berbalas atau tidak. Tapi kamu menanggapi dengan kerendahan diri. Setidaknya menurut saya begitu. Saya memang tahu kamu adalah tipe laki-laki insecure yang terkadang membuat saya berpikir apa yang bisa saya percayakan kepada laki-laki yang sedang khawatir dengan dirinya sendiri. Tapi menyukai seseorang tidak bisa pilih-pilih bukan? Saya juga tidak bisa memaksa sebab saya tahu sudah pasti tidak bisa. Saya banyak tertawa malam itu, membaca chat-chat balasan darimu penuh dengan kata-kata yang bahkan tidak pernah terpikirkan oleh saya sekalipun. Tapi setidaknya saya tahu bagaimana kamu memandang dirimu sendiri. Kamu bisa saja katakan simple, "maaf, tapi saya tidak menyukaimu." Dan mungkin tawa saya akan semakin keras lagi.

Kita tidak lagi sama, ke depannya harus berpura-pura dalam hubungan pertemanan yang mungkin sebenarnya kamu sendiri sudah malas menanggapinya, tapi untuk satu ini saya memaksa. Saya percaya waktu akan menyembuhkan segalanya, dan saya butuh waktu. Tidak perlu khawatir karena ini urusan saya sebab memang dari awal kamu ya begitu saja, biasa-biasa saja, tanpa ada saya. Saya tidak tahu perempuan seperti apa yang kamu cari, tapi perlu kamu ketahui saya tidak bisa lebih murahan lagi dari ini. Harga diri saya sudah tidak lagi di atas kepala, bahkan untuk berairmata pun saya sudah lelah. Saya ingin tahu bagaimana kamu memandang saya sekarang, apakah saya masih perempuan baik-baik seperti yang pernah kamu katakan, apakah saya masih menjadi salah satu perempuan yang kamu hormati, atau mungkin sebagai perempuan yang tidak tahu diri ingin menjangkaumu yang begitu tinggi.

Terima kasih sudah bersedia menemani perempuan yang rewel ini, yang ingin ini-itu banyak sekali. Terima kasih sudah mau menuruti semua permintaan perempuan yang cerewet ini, yang ingin kamu selalu sehat, yang ingin kamu tidak terlalu lelah karena pekerjaan, yang ingin kamu tidak telat makan, yang ingin kamu tidak sering tidur larut malam, yang ingin kamu berhenti merokok dan tidak terlalu sering ngopi. Maaf, jika saya merusak hubungan pertemanan yang mungkin bisa berlangsung lebih lama lagi. Semoga tidak ada yang berubah di antara kita, kecuali saya yang sedang belajar mengikhlaskan rasa. Kelak jika bertemu kembali, rasa sakit itu tidak lagi ada tetapi berganti dengan rasa bangga karena kamu sudah berhasil meraih mimpi yang pernah  kita tertawakan bersama. Kamu tetap mau jadi presiden, kan?


Komentar