Aku di Jakarta
Sore itu di kedai kopi
tempat biasa kita bertemu.
Kau duduk di situ, di
depanmu seorang perempuan dengan rambut bergelombang, berkacamata, dan tertawa.
Pun dirimu. Entah apa yang membuatku tersenyum melihatmu. Kau tidak begitu,
dulu, ketika bersamaku. Perempuan itu memanggil pelayan untuk menambah segelas
kopi lagi. Kalian sama. Dan aku? bahkan pernah memintamu berhenti. Rasanya akan
sia-sia sapaan dariku, meski kau seringkali berkata, "kabari aku jika di
Jakarta".
Aku memperhatikanmu,
dari meja yang paling jauh mendekati pintu. Aku masih sama, dan kau tidak. Masa
depan sudah ada di tanganmu, tepatnya di hadapanmu sekarang ini. Aku tahu dari
caramu menatapnya, dulu juga begitu, tapi aku lebih sering mengalihkan pandangan.
Kau mendengarnya bercerita, sesekali jemarimu menyentuh punggung tangannya.
Tidak jauh dari tangan kirinya terlihat sebuah alkitab yang membuatku bergumam, "kau sudah menemukan yang sepantasnya".
Aku memesan kopi
kesukaanmu, hanya saja tanpa gula agar pahitnya bisa kujadikan kambing hitam
jika saatnya kuharus berairmata. Dia, perempuanmu, dengan dress putih selutut tanpa lengan bermotif
bunga-bunga kecil, terlihat anggun dipadukan dengan stiletto hitam berpita. Sepertinya dia adalah anggota paduan
suara di gereja. Semoga kau tidak lupa kalau aku punya feeling yang kuat, entahlah, tentu kau yang paling tahu perihal
wanitamu.
Kau menopang dagu
dengan tatapan yang tidak lepas mensyukuri satu per satu keindahan ciptaan
Tuhan yang ada di depanmu. Sesekali kau tertawa gemas melihat tingkahnya
tersipu malu. Dengan tampilan office look,
kau masih menggunakan pantofel hitam yang kuberikan pada perayaan tahun keenam
kita, beberapa minggu sebelum kita menyerah. Hari ini, tepat setahun yang lalu
kau berujar, "kita tidak berpisah", kau ucapkan berkali-kali
melawanku yang terus-menerus bilang lelah.
Hari itu aku menangis,
menyesal tidak menemukan celah di mana mungkin semesta akan mengizinkan kita.
Enam tahun untuk apa? Seharusnya lebih dari kata "bertahan", kita
bisa menyelesaikan apa yang telah kita mulai. Tapi maafkan, aku bukan wanita tangguh
seperti katamu. Kau mengiyakan, tak ingin berlama-lama melihatku menangis.
"Aku ingin kita tetap berteman", lirih kau ucapkan sambil memelukku.
Teman? Kau gila.
Sesekali kau masih
menyapaku melalui pesan singkat, agar silaturahmi-tetap-terjaga. Lucu rasanya
memakai kata-kata itu seperti sedang belajar tentang Kewarganegaraan. Ayolah,
kita tidak bisa sama lagi. Aku terlalu mengagumimu, seperti ada sesuatu yang tidak
pernah selesai di antara kita. Unspoken
feelings. Kata "teman" justru membuatku berjarak denganmu.
Tapi apa boleh buat?
Tentu setelahnya rasa
bersalah membuatku tidak menjadi diri sendiri selama berminggu-minggu. Aku
lebih banyak diam, mengurung diri di kamar, semuanya terlihat salah di mataku.
Bahkan ada hari-hari di mana aku menyalahkan Tuhan atas apa yang terjadi. Katanya,
cinta itu berdua tapi mengapa kita tidak bersama. Kalau rindu saja harus
bertemu, lantas mengapa yang saling cinta tidak bisa bersatu? Tuhan memang suka
bercanda, tapi terkadang aku tidak bisa memahami caraNya bercanda.
Aku tersadar dari
lamunanku, kembali sesak di kedai kopi yang cukup sepi petang ini. Aku suka
dengan suasana sisa-sisa hujan di kota besar. Jakarta yang kembali menjadi
anak-anak setelah habis dilahap hujan deras menyisakan jalanan basah, genangan
air, rupa-rupa ekspresi sehabis pulang kerja, dingin di antara jemari
bocah-bocah ojek payung, pertemuan yang tak direncanakan, perpisahan yang tak
diinginkan, dan rindu yang tak tersampaikan. Terima kasih sudah memberiku waktu
untuk bernostalgia, ternyata masih kamu pemeran utamanya.
Hari beranjak malam,
aku memutuskan untuk pulang. Transportasi online menjadi andalanku jika ingin
kemana-mana selama beberapa tahun merantau di kota ini. Tenang saja, tidak ada
dendam di antara kita sebab dia memang cantik! Aku benar-benar memujinya. Baru
beberapa menit aku menaiki Vario putih-hitam dengan nama driver yang sama dengan namamu, pesan singkat
masuk.
--Aku
seperti melihatmu tadi, entahlah, tapi aku yakin itu kamu. Kamu di mana? Kabari
aku jika di Jakarta.--
Komentar
Posting Komentar