Mudah Saja
Apa yang kau cari dariku? Bersama tidak bisa, apalagi berakhir denganmu. Kau yang memilih pergi, bukan aku yang melepasmu. Cukup kau tahu, bukan aku tidak pernah berjuang selama ini, hanya saja aku tidak mengerti apa sedetik pun kau pernah melihatku, memahami isyarat yang kuberikan untukmu. Bukan aku ingin membuatmu bingung, jika sayang sudah seharusnya ku bilang sayang, tapi untuk mencuri-curi waktu agar bisa menatapmu saja rasanya sulit sekali. Sekali saja, aku ingin tahu apa pernah kau berjuang untuk mendapatkan perhatianku.
Mungkin aku yang
terlalu perasa atau kau yang tidak mengerti bagaimana caranya menunjukkan
perasaanmu. Jangan tanya sudah sebanyak apa rinduku. Mungkin bagimu aku
menyerah, tapi bukan tanpa alasan aku tidak lagi berjuang sebab ku tahu tidak
ada akhir untukku. Meski sedikit terlambat, pelan-pelan aku mulai bersiap-siap
jika sewaktu-waktu kau datang kembali dengan wanita yang lebih sabar dariku
perihal ego tinggimu, perangai kerasmu, dan sifat keras kepalamu itu.
Aku ingin jika suatu
hari aku melihatmu, sakit itu tidak lagi terasa. Segalanya selalu tentangmu,
kau yang selalu membuatku berjuang tanpa perlu kau melakukan apapun. Aku masih
di sini seperti biasa, melupakan kita pernah sedekat apa, mencoba untuk tidak
mau mengerti semua perhatian yang kita berikan untuk apa. Tempatku memang di
sini, tidak peduli kau pergi atau masih di sini. Tapi maafkan jika kau datang
lagi, kau sudah kehilanganku. Aku yang kau maksud sudah lama pergi dan tidak
sebodoh itu untuk tetap tinggal bersama senyum getir yang kau tinggalkan di
cangkir kopimu.
Sebenarnya yang aku
inginkan adalah kita tetap seperti biasa meski tidak bisa bersama. Dukungan,
semangat, omelan, saling mengingatkan, tetap mengerti arti tatapan satu sama
lain tanpa perlu mengucapkan apa-apa, intinya aku masih terbuka untuk berteman
denganmu. Namun anehnya kau yang menghilang entah untuk apa, tanpa sadar
seperti memintaku untuk mundur. Jika kau pikir aku akan mencarimu, kau salah
paham. Aku sudah lama mundur sebab tingkahmu yang memaksaku, dan jika aku sudah
mundur, yang terjadi adalah aku benar-benar mundur. Aku tidak akan lagi
mengganggumu.
Aku kira kita bisa
berteman seperti yang pernah kau ucapkan padaku, tidak akan hilang komunikasi
meski hanya sekedar basa-basi. Sekarang, untuk menyapa saja aku tidak bisa. Ada
jarak yang kau bangun begitu kuat sampai membuatku muak. Ini yang kucoba hindari
dari awal, adalah jika saatnya kita berpisah-aku ingin tetap ada canda tawa
yang mengiringi jeda kita. Tapi yang ada aku lelah dengan peduliku yang tidak
kau hiraukan hingga akhirnya benci itu sedikit demi sedikit ada. Berhentilah,
jangan paksa aku untuk membencimu.
Kau tidak bisa
sesukamu pergi kemudian datang kembali. Silakan saja jika kau ingin kembali,
tapi tidak kau temukan diriku menantimu seperti dulu setiap senja kedatanganmu
ku sambut dengan senyum yang tidak pernah kau coba untuk pahami sedikit pun.
Aku pernah bertahan untukmu. Pernah. Jadi jangan bertingkah seolah-olah aku
yang memintamu pergi.
Aku tahu, kau bukanlah
seorang yang bisa ku jangkau. Aku sadari itu bahkan sejak pertama kali kita
bertemu. Bodohnya, aku masih ingin memahami keras kepalamu. Berpura-pura ingin
mengenal wanita yang pernah kau sukai, tertawa ketika kau menceritakan betapa
konyolnya perjalananmu bersamanya. Kau tahu, sebab kebodohanku ingin bersamamu,
aku lupa untuk menjadi diri sendiri. Aku ingin kembali menjadi diriku yang
realistis, menyadari kau begitu tinggi dan curam, yang tak bisa ku taklukan
sekuat apapun aku berusaha.
Di penghujung hari
ini, aku melepasmu juga merindukanmu.
Bahagia dan sehat
selalu, Mas.
Komentar
Posting Komentar