MAKALAH AGAMA HUKUM ISLAM


BAB II
PEMBAHASAN

2.1   Pengertian, Dasar, Tujuan, Karakteristik dan Sumber Hukum Islam
Secara etimologis, kata hukum bermakna “menetapkan sesuatu pada yang lain” seperti menetapkan mana yang diperintah dan dilarang. Secara istilah, hukum adalah titah Allah berkaitan dengan perbuatan mukallaf (tuntutan, pilihan, dan wadh’i). Tata kehidupan manusia perlu diatur dengan hukum Allah. Tujuan disyari’atkannya hukum Islam adalah untuk mewujudkan hasanah bagi manusia baik di dunia maupun akhirat melalui :
1.    Ketentuan Dharuri adalah ketentuan hukum yang memelihara kepentingan hidup manusia dengan menjaga dan memelihara kemaslahatan mereka. Ketentuan Dharuri bermuara pada upaya memelihara 5 hal : agama (hifdzun din), jiwa (hidzun nafs), akal (hifdzun aql), harta (hifdzun mal), dan keturunan (hifdzun nasl).
2.    Ketentuan haji adalah ketentuan yang memberi peluang untuk memperoleh kemudahan dalam keadaan sukar untuk tujuan dharuri.
3.    Ketentuan Tahsini adalah berbagai ketentuan yang menuntut manusia melaksanakan ketentuan dharuri dengan cara yang lebih baik, berkaitan dengan pembinaan akhlak yang baik dan melaksanakan ketentuan dharuri dengan cara sempurna.

Hukum Islam adalah hukum yang ditetapkan Allah melalui wahyu-Nya yang terdapat dalam Al Qur’an dan dijelaskan Nabi Muhammad sebagai rasul-Nya melalui sunnah. Untuk syari’at Islam sering dipergunakan istilah hukum syari’at atau hukum syara’, untuk fikih Islam dipergunakan hukum fikih atau hukum Islam. Syari’at adalah landasan fikih dan fikih adalah pemahaman orang yang memenuhi syarat tentang syari’at.

Hukum Islam dibagi menjadi 2 bagian besar yaitu bidang ibadah dan bidang mu’amalah. Adapun tujuan hukum Islam adalah untuk mencegah kerusakan dan mendatangkan kemaslahatan serta mengarahkan manusia pada kebenaran.
Syari’at Islam secara garis besar mencakup tiga hal :
1.    Ahkam Syar’iyyah I’tiqadiyah yaitu hukum yang berkenaan dengan akidah/keimanan.
2.    Ahkam Syar’iyyah Khuluqiyah yaitu hukum yang berkenaan dengan akhlak.
3.    Ahkam Syar’iyyah ‘Amaliyah yaitu hukum yang berkenaan dengan pelaksanaan syariah dalam pengertian khusus. Hukum ‘Amaliyah ini pada garis besarnya dibagi dua : pertama, hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah yang disebut ibadah. Kedua, hukum yang mengatur hubungan antar sesama manusia disebut mu’amalah.

Syari’at Islam adalah ketetapan Allah tentang ketentuanhukum dasar yang bersifat global dan kekal, sehingga tidak mungkin dirombak oleh siapapun dan kapanpun, sedangkan fikih adalah penjabaran syari’at dari hasil ijtihad para mujtahid sehingga bersifat lokal dan temporal. Urutan sumber hukum Islam menunjukkan urutan, kedudukan dan jenjang pengaplikasiannya. Apabila suatu masalah memerlukan kepastian hukum, maka pertama dicari penjelasan Al Qur’an jika tidak ditemukan maka dicari dari sunnah (hadis), apabila tidak ditemukan juga , akhirnya dicari dengan ijtihad dengan metode musyawarah dan kesepakatan (ijma’) ulama ataupun qiyas (penganalogian).
1.    Al Qur’an
Al Qur’an memiliki arti bermacam-macam, salah satunya adalah “bacaan” atau “dibaca”. Al Qur’an adalah bentuk masdar dari kata qara’a, yaqra’u, qur’anan artinya membaca. Walaupun demikian, Al Qur’an merupakan petunjuk, pedoman, dan penjelas mana yang pantas dan tidak pantas untuk dilakukan. Al Qur’an memiliki kriteria antara lain :
a.    Al Qur’an adalah firman Allah atau Kalamullah
b.    Al Qur’an adalah mukjizat
c.    Al Qur’an disampaikan kepada Nabi Muhammad melalui perantara malaikat Jibril dengan jalam Mutawatir. Mutawatir adalah wahyu yang diterima Nabi Muhammad disampaikan dan diajarkan kepada orang banyak sebagai jaminan keotentikan isi AlQur’an.
d.    Al Qur’an diawali dengan surat Al Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas.
e.    Al Qur’an diperintahkan untuk dibaca karena merupakan ibadah.

Ditinjau dari segi fungsi, Al Qur’an seharusnya setelah dibaca, dipahami lalu diamalkan dan dijadikan sebagai petunjuk yang  memberikan penjelasan mana yang haq/benar untuk dilaksanakan dan bathil untuk ditinggalkan. Jadi fungsi Al Qur’an, antara lain :
a.      Al Qur’an berfungsi sebagai petunjuk (hudan)
b.      Al Qur’an berfungsi sebagai penjelas (tibyan)
c.       Al Qur’an berfungsi sebagai pembeda (furqan)

Ditinjau dari prinsip penetapan hukum, Al Qur’an dalam menetapkan hukum sejalan dengan kebutuhan manusia, artinya tidak mungkin ditetapkan hukum, jika manusia tidak mampu melakukan landasan syari’at Islam. Dalam menetapkan hukum yang terdapat dalam Al Qur’an, yaitu :
a.    Umum
Syari’at Islam mencakup segala aspek dan berlaku bagi seluruh umat manusia di seluruh penjuru dunia.
b.    Orisinil dan Abadi
Syari’at Islam diturunkan Allah dan tidak tercemar oleh usaha pemalsuan sampai akhir zaman.
c.       Mudah dan Tidak Memberatkan
d.      Keselarasan dan Keseimbangan
e.       Berproses dan Bertahap

Al Qur’an secara berangsur-angsur dan tidak mendadak dalam menetapkan hukum melalui proses untuk mempersiapkan manusia menuju pelaksanaannya sesuai yang diharapkan dari hukum itu. Ditinjau dari sumber hukum, posisi Al Qur’an sebagai sumber hukum yang pertama dan penegas serta memberi motivasi bagi manusia mengembangkan IPTEK.

2.    AS Sunnah atau Al Hadis
Kata sunnah, secara etimologi bermakna jalan, tata laku, atau cara bertindak. Sunnah Rasul adalah jalan dan perilaku Nabi sepanjang hidupnya. Secara terminologi, sunnah diartikan denga perkataan, perbuatan, dan taqrir (diam dan persetujuan)Nabi. Istilah sunnah disebut juga dengan hadis. Letak perbedaan antara sunnah dan hadis ialah segala peristiwa yang disandarkan kepada Nabi walaupun hanya sekali seumur hidup beliau mengerjakannya dan hanya seorang saja yang meriwayatkannya. Sedang sunnah ialah sesuatu yang dilakukan oleh nabi terus-menerus dan dinukilkan (dipindahkan) kepada kita dari zaman ke zaman melalui mutawatir.

a.    Macam-macam Sunnah/Hadis
1)   Ditinjau dari segi bentuk :
a.    Sunnah Qauliyah, yakni perkataan Nabi yang beliau sampaikan dalam berbagai
     kesempatan.
b.    Sunnah Fi’liyah yaitu segala perbuatan yang dilakukan Nabi.
c.    Sunnah Taqririyah yaitu sikap Rasulullah membiarkan perbuatan sahabat/ menyetujui
     (taqrir)/mengizinkannya.
2)   Ditinjau dari segi kualitasnya :
a.    Shahih, yaitu hadis diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna hafalannya (dhabith
     tammum), sanadnya bersambung sampai kepada Rasul, tidak terdapat keganjilan/syadz
     (sempurna ketelitiannya), dan tidak memiliki cacat/tercela (illat).
b.    Hasan hampir sama dengan shahih hanya berbeda pada hafalannya yang kurang kuat
     (sempurna)atau karena kelalainnya memiliki sedikit kesalahan.
c.    Dha’if, diriwayatkan oleh orang yang lemah (tidak adil), terputus sanadnya, memiliki
     cacat/kehilangan salah satu dari syarat hadis shahih atau hasan.
3)   Ditinjau dari segi diterima atau ditolak :
a.    Maqbul, hadis yang dijadikan hujjah atau dalil dalam agama (hadis shahih dan hasan).
     Sedangkan hadis dha’if terjadi perbedaan pendapat.
b.    Mardud (maudhu’), hadis yang ditolak, tidak boleh dijadikan dalil agama karena dibuat-
     buat oleh seseorang alias hadis palsu.
4)   Ditinjau dari segi siapa yang berperan :
a.       Marfu’, hadis yang disandarkan kepada Nabi
b.      Mauquf, hadis yang disandarkan kepada para sahabat
c.       Maqthu’, hadis yang disandarkan kepada tabi’in
5)    Ditinjau dari segi jumlah orang yang meriwayatkan atau menyampaikan :
a.    Mutawatir, hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak yang tidak terhitung jumlahnya.
b.    Masyhur, hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak tetapi tidak sampai mutawatir.
c.    Ahad, hadis yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih.

Fungsi dan kedudukan hadis sebagai sumber hukum
Sunnah sebagai sumber kedua merupakan penjelasan operasional atau pengaktualisasi yang terkandung dalam A l Qur’an. Sebagai sumber hukum kedua, sunnah/hadis berfungsi :
1)   Menetapkan dan memperkuat hukum yang ditentukan oleh Al Qur’an (bayan ta’qid).
2)   Menjelaskan, menafsir, membatasi dan mengecualikan pada ayat Al Qur’an (bayan
     ta’yin).
3)   Menetapkan hukum yang tidak ada penjelasannya dalam Al Qur’an (bayan tasyri’)

3.      Ijtihad
Kata ijtihad atau jihad memiliki akar kata yang sama yaitu jahada (jahd) yang artinya berusaha sekuat tenaga, bersungguh-sungguh, berusaha keras. Kata ijtihad secara harfiyah mengandung arti pengerahan kemampuan secara maksimal yang lebih cenderung pada segi fisik dan ilmiah. Secara terminologis ijtihad berarti mengerahkan segala kemampuan maksimal dalam mengungkap kejelasan dan memahami ayat Al Qur’an dan sunnah yang menunjukkan kebenaran materi zhanni, serta memecahkan permasalahan berdasarkan prinsip dan nilai Islam. Ijtihad dikatakan sebagai cara untuk menetapkan hukum (istinbath hukum) terhadap fenomena kehidupan manusia dengan landasan Al Qur’an atau sunnah.
a.    Perlunya Ijtihad
Sebagai sumber ketiga, ijtihad sebagai hasil akal fikiran (ra’yu) merupakan sumber pengembangan nilai Islam yang berlandaskan Al Qur’an dan sunnah Rasul. Perlunya ijtihad disepakati para ulama, karena tak dapat tidak perkembangan pemikiran manusia yang berkembang sesuai dengan tuntutan zaman. Tujuan ijtihad adalah untuk memenuhi kebutuhan umat Islam yang tidak terdapat dalam Al Qur’an maupun hadis.
b.    Ruang Lingkup Ijtihad
Pada prinsipnya ijtihad dipergunakan dalam dua hal : pertama masalah yang sudah ada nash Al Qur’an dan hadis, tetapi penunjukkan dalilnya bersifat zhanny. Kedua, masalah yang tidak ada sama sekali penjelasannya dalam Al Qur’an dan hadis.
c.    Metode Ijtihad
Dalam ijtihad ulama mempergunakan cara bervariasi, antara lain :
1)   Ijma’ : menghimpun, berkumpul, dan menyusun. Kesepakatan pendapat para mujtahid suatu masa tentang hukum sesuatu.
2)   Qiyas : mengukur atau mempersamakan sesuatu dengan sesuatu dengan yang lain. Mempersamakan suatu kejadian yang belum ada nash mengenai hukumnya dengan peristiwa lain yang sudah ada nash mengenai hukumnya karena persamaan sebab (illat).
3)   Istihsan : menganggap baik suatu hal (mengutamakan kebaikan/keadilan). Menjalankan keputusan berdasarkan kebaikan kepentingan umum dengan meninggalkan qiyas.
4)   Mashlahah Mursalah
Mendatangkan kebaikan bersama. Menetapkan hukum dengan cara menarik kesimpulan atas dasar pertimbangan kesejahteraan umum.
5)   Istishab : menetapkan hukum menurut keadaan sebelumnya, sampai ada dalil yang
     mengubah keadaannya.
6)   Saddudz Dzari’ah : melarang sesuatu yang mubah dengan maksud menghindarkan
     kemudaratan yang mungkin timbul.
7)   Urf : menetapkan hukum berdasarkan adat kebiasaan selama tidak bertentangan dengan Islam.

d.    Syarat Mujtahid
Syarat untuk menjadi seorang mujtahid adalah mengetahui dan memahami Al Qur’an dan hadis dengan baik, bahasa Arab dari segala segi, ilmu ‘usul fiqh, ilmu nasikh dan mansukh serta hukum yang ditetapkan dengan ijma’.
e.    Kebenaran Hasil Ijtihad
Hasil ijtihad kebenarannya relatif, karena penalaran setiap mujtahid berbeda-beda. Perbedaan itu bisa disebabkan luas tidaknya wawasan ilmu pengetahuan yang dimiliki dan sarana prasarana pendukung hasil ijtihad yang bersangkutan.

2.2   Asas-asas Pembinaan Hukum Islam
Hukum islam sebagai hukum-hukum yang lain mempunyai asas dan tiang pokok. Maka asas-asas (dasar) pembinaan hukum islam yang dikatakan da’a imut tasyr’i, tiang pokok pembinaan hukum, antara lain: 
a) Asas Nafyul Haraji “meniadakan kepicikan”
Artinya hukum Islam dibuat dan diciptakan itu berada dalam batas-batas kemampuan para mukallaf. Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
Namun bukan berarti tidak ada kesukaran sedikitpun sehingga tidak ada tantangan, sehingga tatkala ada kesukaran yang muncul bukan hukum Islam itu digugurkan melainkan melahirkan hukum Rukhsah.
b) Asas Qillatul Taklif “tidak membahayakan”
Asas kedua dari hukum islam tidak membanyakan hukum taklif, artinya hukum Islam itu tidak memberatkan pundak mukallaf dan tidak menyukarkan. Taklif dalam hukum islam tidak banyak dan di waktu agak sukar kita laksanakan taklif-taklif itu, diadakan hukum darurat. 
c) Asas Tadarruj “bertahap gradual”
Artinya pembinaan hukum Islam berjalan setahap demi setahap disesuaikan dengan tahapan perkembangan manusia.
d) Asas Kemuslihatan Manusia Hukum Islam seiring dengan dan mereduksi sesuatu yang ada dilingkungannya.
e) Asas Keadilan Yang Merata
Manusia didalam hukum islam, sama keadaannya. Mereka tidak lebih melebihi karena kebangsaan, karena keturunan,karena harta atau kemegahaan. Tak ada di dalam hukum islam penguasa yang bebas dari jeratan undang-undang, apabila mereka berbuat dzalim. Semua manusia dihadapan allah hakim yang maha adil adalah sama.
f) Asas Estetika
Artinya hukum Islam memperbolehkan bagi kita untuk mempergunakan/memperhatikan segala sesuatu yang indah. Azas Menetapkan Hukum Berdasar Urf yang Berkembang Dalam Masyarakat. Hukum Islam dalam penerapannya senantiasa memperhatikan adat/kebiasaan suatu masyarakat.
g) Azas Syara Menjadi Dzatiyah Islam
Artinya Hukum yang diturunkan secara mujmal memberikan lapangan yang luas kepada para filosof untuk berijtihad dan guna memberikan bahan penyelidikan dan pemikiran dengan bebas dan supaya hukum Islam menjadi elastis sesuai dengan perkembangan peradaban manusia.

2.3   Mazhab Fiqh Islam
Menurut aspek teologis, mazhab fiqh dibagi dalam dua kelompok, yaitu MazhabAhlussunnah dan Mazhab Syi'ah. Dalam perkembangan fiqh di kenal beberapa mazhab fiqh. Berdasarkan keberadaannya, mazhab fiqh ada yang masih utuh dan dianut masyarakat tertentu, namun ada pula yang telah punah.

Mazhab Ahlussunnah
Mazhab ini terdiri atas 4 (empat) mazhab populer yang masih utuh sampai sekarang, yaitu sebagai berikut:
1. Mazhab Hanafi
2. Mazhab Maliki.
3. Mazhab Syafi'i
4. Mazhab Hanbali

Mazhab Syiah
Mazhab fiqh Syiah yang populer adalah Syiah Zaidiyah dan Syiah Imamiyah.
1. Mazhab Syiah Zaidiyah
2. Mazhab Syiah Imamiyah
Mazhab fiqh yang Punah
Pengertian mazhab yang telah punah di sini menurut ulama fiqh adalah mazhab tersebut tidak memiliki tokoh dan pengikut yang fanatik, sekalipun ada sebagian pendapat mazhab tersebut dianut sebagian ulama atau masyarakat, hal tersebut hanya merupakan salah satu pendapat yang menjadi alternatif untuk menjawab kasus tertentu. Selain itu, mazhab tersebut dinyatakan punah karena pendapatnya tidak dibukukan sehingga tidak terpublikasikan secara luas, sehingga pengikutnya pun tidak ada.

Menurut Muhammad Yusuf Musa, mazhab-mazhab yang telah punah itu antara lain sebagai berikut:
1. Mazhab al-Auza'i
2. Mazhab as-Sauri
3. Mazhab al-Lais bin Sa'ad
4. Mazhab ath-Thabari
5. Mazhab az-Zahiri

          2.4   Prospek  Hukum Islam di Indonesia
Sebagai hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, hukum Islam telah menjadi bagian kehidupan bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Penelitian nasional menurut Universitas Indonesia dari BPHN (1977/1978), menunjukkan umat Islam Indonesia kembali ke identitasnya sebagai muslimin dengan mentaati dan melaksanakan hukum Islam.
Usaha yang dilakukan untuk menegakkan hukum Islam memang harus melalui proses kultural dan dakwah. Di negara yang mayoritas penduduknya Islam, kebebasan mengeluarkan pendapat wajib ada untuk mengembangkan pemikiran hukum Islam yang benar teruji, dari segi pemahaman dan pengembangannya. Masalahnya kemudian, bagaiman sesuatu yang wajib menurut hukum Islam menjadi wajib pula menurut perundang-undangan. Hal ini jelas diperlukan proses dan waktu untuk merealisasikannya.

2.5            Beberapa Contoh Kasus Hukum Islam Kontemporer

Perdagangan Online Shop dalam Hukum Islam
” Jangan engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu,” sabda Nabi Muhammad SAW, dalam sebuah hadits riwayat Abu Hurairah. Ibn al-Qayyim, ulama bermazhab Hambali ini berpendapat, bahwa tidak benar jual-beli barang yang tidak ada dilarang. Baik dalam Al Qur’an,sunnah maupun fatwa para sahabat, larangan itu tidak ada.

Dalam Sunnah Nabi, hanya terdapat larangan menjual barang yang belum ada, sebagaimana larangan beberapa barang yang sudah ada pada waktu akad. “Causa legis atau ilat larangan tersebut bukan ada atau tidak adanya barang, melainkan garar,” ujar Dr. Syamsul Anwar, MA dari IAIN SUKA Yogyakarta menjelaskan pendapat Ibn al-Qayyim. Garar adalah ketidakpastian tentang apakah barang yang diperjual-belikan itu dapat diserahkan atau tidak. Misalnya, seseorang menjual unta yang hilang. Atau menjual barang milik orang lain, padahal tidak diberi kewenangan oleh yang bersangkutan.

Jadi, meskipun pada waktu akad barangnya tidak ada, namun ada kepastian diadakan pada waktu diperlukan sehingga bisa diserahkan kepada pembeli, maka jual beli tersebut sah. Sebaliknya, kendati barangnya sudah ada tapi – karena satu dan lain hal — tidak mungkin diserahkan kepada pembeli, maka jual beli itu tidak sah. Perdagangan berjangka, jelas, bukan garar. Sebab, dalam kontrak berjangkanya, jenis komoditi yang dijual-belikan sudah ditentukan. Begitu juga dengan jumlah, mutu, tempat dan waktu penyerahannya. Semuanya berjalan di atas rel aturan resmi yang ketat, sebagai antisipasi terjadinya praktek penyimpangan berupa penipuan — satu hal yang sebetulnya bisa juga terjadi pada praktik jua-beli konvensional.

Dalam perspektif hukum Islam, Perdagangan Berjangka Komoditi (PBK) (forex adalah bagian dari PBK) dapat dimasukkan ke dalam kategori masalah hukum Islam kontemporer. Karena itu, status hukumnya dapat dikategorikan kepada masalah ijtihadiyyah. Klasifikasi ijtihadiyyah masuk ke masalah hukum yang tidak mempunyai referensi nash hukum yang pasti. Dalam kategori masalah hukum al-Sahrastani, ia termasuk ke dalam paradigma al-nushush qad intahat wa al-waqa’I la tatanahi. Artinya, nash hukum dalam bentuk Al-Quran dan Sunnah sudah selesai; tidak lagi ada tambahan. Dengan demikian, kasus-kasus hukum yang baru muncul mesti diberikan kepastian hukumnya melalui ijtihad.

Dalam kasus hukum PBK, ijtihad dapat merujuk kepada teori perubahan hukum yang diperkenalkan oleh Ibn Qoyyim al-Jauziyyah. Ia menjelaskan, fatwa hukum dapat berubah karena beberapa variabel perubahnya, yakni: waktu, tempat, niat, tujuan dan manfaat. Teori perubahan hukum ini diturunkan dari paradigma ilmu hukum dari gurunya Ibn Taimiyyah, yang menyatakan bahwa a-haqiqah fi al-a’yan la fi al-adzhan. Artinya, kebenaran hukum itu dijumpai dalam kenyataan empirik; bukan dalam alam pemikiran atau alam idea.

Dalam penerapannya, secara khusus masalah PBK dapat dimasukkan ke dalam bidang kajian fiqh al-siyasah maliyyah, yakni politik hukum kebendaan. Dengan kata lain, PBK termasuk kajian hukum Islam dalam pengertian bagaimana hukum Islam diterapkan dalam masalah kepemilikan atas harta benda, melalui perdagangan berjangka komoditi dalam era globalisasi dan perdagangan bebas. Realisasi yang paling mungkin dalam rangka melindungi pelaku dan pihak-pihak yang terlibat dalam perdagangan berjangka komoditi dalam ruang dan waktu serta pertimbangan tujuan dan manfaatnya dewasa ini, sejalan dengan semangat dan bunyi UU No. 32/1977 tentang PBK.

Karena teori perubahan hukum seperti dijelaskan di atas, dapat menunjukkan elastisitas hukum Islam dalam kelembagaan dan praktek perekonomian, maka PBK dalam sistem hukum Islam dapat dianalogikan dengan bay’ al-salam’ajl bi’ajil, yakni memperjualbelikan sesuatu yang dengan ketentuan sifatnya yang terjamin kebenarannya. Di dalam transaksi demikian, penyerahan ra’s al-mal dalam bentuk uang sebagai nilai tukar didahulukan daripada penyerahan komoditi yang dimaksud dalam transaksi itu. Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mendefinisikannya dengan: “Akad atas komoditas jual beli yang diberi sifat terjamin yang ditangguhkan (berjangka) dengan harga jual yang ditetapkan di dalam bursa akad”.

Komentar